A.
Pengertian Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) yaitu
pembelajaran yang merujuk pada berbagai macam metode pengajaran dimana para
siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama
lainnya dalam mempelajari materi pelajaran.[1]
Menurut Parker (1994) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana para siswa saling berinteraksi dalam
kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan tugas akademik demi mencapai tujuan
bersama.[2]
Menurut Artz dan Newman (1990) mendefinisikan pembelajaran kooperatif sebagai “small
group of learners working together as a team to solve a problem, complete a task, or accomplish a common goal” (kelompok
kecil pembelajaran / siswa yang berkerja sama dalam satu tim untuk mengatasi suatu masalah,
menyelesaikan sebuah tugas , atau mencapai satu tujuan bersama).[3]
Singkatnya, pembelajaran kooperatif mengacu
pada metode pembelajaran dimana siswa berkerja sama dalam kelompok kecil dan
saling membantu dalam belajar. pembelajaran kooperatif umumnya melibatkan
kelompok yang terdiri dari 4 siswa dengan kemampuan yang berbeda dan ada pula
yang menggunakan kelompok dengan ukuran yang berbeda-beda. (Miftahul Huda hlm.
32)
Adanya pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) yaitu
siswa diharapkan dapat saling membantu, saling memdiskusikan dan
berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai dan menutup
kesenjangan dalam pemahaman masing-masing.
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) bukanlah
gagasan baru. Masa belakangan yaitu digunakan oleh beberapa guru untuk tujuan
tertentu. Penelitian setelah 20 tahun terakhir, mengidentifikasikan metode
Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) yang dapat digunakan
secara efektif pada setiap tingkatan kelas dan untuk mengajarkan berbagi macam
mata pelajaran. Dan dapat digunakan sebagai cara utama dalam mengatur kelas
untuk pengajaran.
- Prinsip Dasar Dan Ciri-Ciri Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Nur (2000), prinsip dasar dalam pembelajaran kooperatif
sebagai berikut:
1.
Setiap
anggota kelompok (siswa) bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dikerjakan
dalam kelompoknya.
2.
Setiap
anggota kelompok (siswa) harus mengetahui bahwa semua anggota
3.
kelompok
mempunyai tujuan yang sama.
4.
Setiap
anggota kelompok (siswa) harus membagi tugas dan tanggung jawab yang sama
diantara anggota kelompoknya.
5.
Setiap
anggota kelompok (siswa) akan dikenai evaluasi.
6.
Setiap
anggota kelompok (siswa) berbagi kepemimpinan dan membutuhkan keterampilan
untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
7.
Setiap
anggota kelompok (siswa) akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual
materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif.
Sedangkan ciri-ciri model pembelajaran kooperatif adalah sebagai
berikut :
1. Siswa dalam kelompok secara kooperatif menyelesaikan materi
belajar sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai.
2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan yang berbeda-beda,
baik tingkat kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Jika mungkin anggota kelompok
berasal dari ras, budaya, suku yang berbeda serta memperhatikan kesetaraan
jender.
3. Penghargaan lebih menekankan pada kelompok dari pada
masing-masing individu.
Dalam pembelajaran kooperatif dikembangkan diskusi dan komunikasi
dengan tujuan agar siswa saling berbagi kemampuan, saling belajar berpikir
kritis, saling menyampaikan pendapat, saling memberi kesempatan menyalurkan
kemampuan, saling membantu belajar, saling menilai kemampuan dan peranan diri
sendiri maupun teman lain.
Ismail. (2003).
Media Pembelajaran (Model-model Pembelajaran). Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu
SLTP.
C.
Elemen-Elemen
Dasar Pembelajaran Kooperatif
Ada beberapa elemen dasar yang membuat pembelajaran
kooperatif lebih produktif dibandingkan dengan pembelajaran kompetitif dan
individual.[4]
Elemen-elemen tersebut antara lain:
1.
Interdependensi
positif / ketergantugan positif, dalam sebuah kelompok harus meyakini bahwa
mereka harus tenggelam dan berenang bersama atau
dalam peri bahasa ringan sama dijinjing dan berat sama
dipikul. Dalam suasana pembelajaran koopertaif, siswa harus bertanggung jawab
pada dua hal yaitu (1) mempelajari materi yang dipelajari (2) memastikan bahwa
semua anggota kelompoknya juga
mempelajari materi tersebut.
2.
Interaksi
promotif, didefinisikan sebagai suatu interaksi dalam kelompok dimana setiap
anggota saling mendorong dan membantu anggota lain dalam usaha mereka untuk
mencapai, menyelesaikan, dan menghasilkan sesuatu untuk tujuan bersama. interaksi positif muncul ketika angota
kelompok saling memberikan bantuan yang efektif dan efesien bagi anggota lain
yang membutuhkan.
3.
Akuntabilitas
individu (tanggung jawab individual) yaitu membentuk semua
anggota kelompok menjadi pribadi yang kuat. taggung jawab perorangan adalah
kunci untuk menjamin semua anggota yang diperkuat oleh kegiatan belajar
bersama.
4.
Keterampilan
interpersonal dan kelompok kecil , demi mencapai tujuan kelompok siswa harus
saling mengerti dan percaya satu sama
lain, berkomunikasi dengan jelas dan tidak ambigu, saling menerima dan
mendukung satu sama lain, dan mendamaikan setiap perdebatan yang sekiranya
melahirkan konflik. (Johnson dan f. Johnson,1991)
5.
Pemprosesan
kelompok dapat didefinisikan sebagai refleksi kelompok dalam 1) mendeskripikan
tindakan (anggota kelompok) apa saja yang membantu dan tidak terlalu membantu,
2) urutan atau tahapan kegiatan kelompok dan kegiatan dari anggota kelompok.
D.
Perbedaan Pembelajaran Kooperatif Dengan
Belajar Kelompok Kecil
Menurut Ellis
dan Wahlen tahun 1990 berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif berbeda dengan
belajar kelompok. Tabel berikut ini merefleksikan pembacaan detail Ellis dan
Wahlen tentang perbedaan-perbedaan mendasar antara pembelajaran kooperatif dan
belajar kelompok kecil.[5]
Kelompok Kooperatif
|
Kelompok Kecil
|
Interdependensi positif. Siswa “tenggelam atau berenang bersama-sama”
(sink or swim together).
|
Tidak ada interdependensi. Siswa bekerja sama hanya untuk kesuksesannya
sendiri. Bahkan, tak jarang mereka mencocokkan jawaban mereka dengan jawaban
teman-temannya hanya untuk memperoleh nilai yang maksimal bagi mereka
sendiri.
|
Akuntabilitas individu. Setiap anggota kelompok harus menguasai materi
pembelajaran.
|
Sekedar ikut-ikutan. Bebeapa siswa membiarkan saja jika ada teman satu
kelompoknya bekerja sendiri, sementara mereka tinggal mengcopy-pastenya jika
sudah selesai.
|
Guru mengajarkan keterampilan-keterampilan sosial yang dibutuhkan siswa
untuk dapat bekerja sama secara efektif.
|
Keterampilan sosial tidak diajarkan secara sistematis.
|
Guru memonitor perilaku siswa.
|
Guru tidak secara langsung mengobservasi perilaku siswa. Mereka bahkan
sering kali terlalu intervensi dalam kerja kelompok. Selama proses diskusi
antar siswa, tak jarang guru mengerjakan tugas-tugas lain (seperti menyiapkan
pengajaran berikutnya, menulis sesuatu atau hal-hal lain). Tanpa
memperhatikan perilaku siswa dalam proses diskusi tersebut.
|
Guru memberikan feedback tentang perilaku-perilaku siswa selama
pembelajaran kooperatif.
|
Tidak ada feedbacks. Tidak ada diskusi lanjutan tentang perilaku-perilaku
siswa selama berkelompok. Guru terkadang hanya berkomentar seperti “Bagus,
“lain kali coba lebih baik lagi” dan lain sebagainya.
|
E.
Metode Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)
1.
Metode Student Team Learning (Pembelajaran Tim Siswa/ PTS)
Yaitu teknik pembelajaran
kooperatif (Cooperative Learning) yang dikembangkan dan diteliti oleh
John Hopkins University.[6]
Metode ini
menekankan penggunaan-penggunaan tujuan tim dan sukses tim yang hanya akan
dapat dicapai apabila semua anggota tim bisa belajar mengenai pokok bahasan
yang telah diajarkan. Tugas yang diberikan bukan melakukan sesuatu sebagai
sebuah tim, tetapi belajar sesuatu sebagai sebuah tim.
Tiga konsep
penting dalam metode PTS:
a.
Penghargaan bagi tim
Yaitu dengan memberikan sertifikat atau
reward bagi tim yang menang.
b.
Tanggung jawab individu
Yaitu kesuksesan tim bergantung pada
pembelajaran individual dari semua anggota tim.
c.
Kesempatan sukses yang sama
Semua siswa memberi kontribusi kepada
timnya dengan cara meningkatkan kinerja mereka dari yang sebelumnya.
2.
Divisi Prestasi Kelompok Mahasiswa (Student-Team Achievement
Division-STAD)
Metode ini
dikembangkan oleh Robert E slavin dan koleganya di Universitas John Hopkins dan
mungkin merupakan pendekatan Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning)
paling sederhana dan mudah (Slavin, 1994, 1995). Siswa dibagi dalam tim belajar
empat orang dengan ketentuan beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar
belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam
tim mereka memastikan semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Semua siswa
mengerjaka materi secara sendiri-sendiri, boleh saling membantu. Di dalam
metode ini memerlukan 3-5 periode/pertemuan kelas.
Metode ini
paling sesuai untuk bidang studi yang sudah terdefinisikan dengan jelas,
seperti matematika, berhitung dan studi terapan, penggunaan dan mekanika
bahasa, geografi dan kemampuan peta, dan konsep-konsep ilmu pengetahuan ilmiah.
Gagasan utama
STAD yaitu untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu
satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru. Siswa
bekerja sama setelah guru menyampaikan materi pelajaran. Mereka boleh bekerja
sama berpasangan dan saling membantu satu sama lain jika ada yang salah dalam
memahami.[7]
Namun, meski
para siswa belajar bersama, mereka tidak boleh saling membantu dalam
mengerjakan kuis. Setiap siswa harus tahu materinya, dan bertanggung jawab
secara individu untuk keberhasilan timnya karena skor tim didasarkan pada
kemajuan yang dilakukan anggotanya. Tanggung jawab seperti ini memotivasi siswa
untuk memberi penjelasan dengan baik satu sama lain, karena satu-satunya cara
bagi tim untuk berhasil adalah dengan membuat semua anggota tim menguasai
informasi atau kemampuan yang diajarkan.
3.
Teams Games Tournament (TGT)
Metode ini
dikembangkan oleh David DeVries dan Keith Edwards dan merupakan metode
pembelajaran pertama dari Johns Hopkins. Dalam metode ini cara pembelajaran
sama seperti STAD hanya saja kuis digantikan dengan turnamen mingguan dimana
siswa memainkan game akademik dengan game anggota lain untuk menyumbangkan poin
bagi skor timnya.
4.
Jigsaw
Metode ini
merupakan adaptasi dari teknik teka-teki Elliot Aronson (1978). Dalam 1
kelompok terdapat empat siswa. Kemudian siswa diminta untuk berhitung 1 sampa
4, pemilik angka yang sama berkumpul menjadi satu untuk mendiskusikan materi
sebagai tim ahli, setelah berdiskusi selesai mereka diminta untuk kembali ke
kelompok aslnya untuk menerangkan kembali dan saling bertukar informasi di
dalam satu kelompoknya.
5.
Team Accelerated Instruction (TAI)
Yaitu dalam
satu kelompok terdiri empat orang. Dalam metode ini, kelompok yang bekerja
terbaik akan mendapatkan sertifikat. Umumnya digunakan untuk mengajarkan
Matematika kelas 3-6 yaitu dengan alasan materi yang disampaikan belum kompleks
sehingga dimungkinkan untuk dilakuan percepatan pembelajaran.
F.
Dampak Positif Dan Negatif Pembelajaran Kooperatif
Dampak positif:
1.
Meningkatkan pencapaian prestasi siswa.
2.
Hubungan antar-kelompok.
3.
Penerimaan terhadap teman sekelas yang lemah dalam bidang akademik/
toleransi dan penerimaan akan keberagaman.
4.
Meningkatkan rasa harga diri dan ketrampilan sosial.
Dampak negatif:
1. “Free Rider” atau Pengendara Bebas
Yang dimaksud dengan “free rider”
adalah beberapa siswa yang tidak bertanggung jawab secara personal pada tugas
kelompok-kelompoknya, mereka hanya “Mengekor” saja apa yang dilakukan oleh
tman-teman satu kelompoknya yang lain.
Free rider sering kali muncul ketika
kelompok-kelompok kooperatif ditugaskan untuk menangani satu lembar kerja, satu
proyek atau satu laporan tertentu. Untuk tugas-tugas seperti ini, sering kali
satu atau beberapa anggota yang mengerjakan hmpir semua pekerjaan kelompoknya,
sementara sebagian anggota yang lin justru “bebas berkendara” berkeliaran
kemana-mana.
2. Difussion of Responsibility
Yang dimaksud dengan difussion of
responsibility (penyebaran tanggung jawab) ini adalah suatu kondisi dimana
beberapa anggota yang dianggap tidak mampu cenderung diabaikan oleh anggota
lain yang “lebih mampu”. Misalnya, jika mereka ditugaskan untuk mengerjakan
tugas matematika atau lainnnya beberapa anggota yang dipersepsikan tidak mampu
berhitung atau menggunakan rumus-rumus dengan baik sering kali tidak dihiraukan
oleh teman-temannya yang lain. Bahkan, mereka yang memiliki skill matematika
yang baik pun terkadang malas mengajarkan keterampilannya pada teman-temannya
yang kurang mahir di bidang matematika. Bagi mereka, hal ini hanya
membuang-buang waktu dan energi saja.
3. Learning a Part of Task Specialitation
Dalam beberapa metode tertentu seperti jigsaw,
group investigation dan metode-metode lain yang terkait, setiap kelompok
ditugaskan untuk mempelajari atau mengerjakan materi bagian yang berbeda antar
satu sama lain. Pembagian semacam ini sering kali membuat siswa hanya fokus
pada bagian materi yang menjadi tanggung jawabnya, sementara bagian materi yang
lain yang dikerjakan oleh kelompok hampir tidak digubris sama sekali, padahal
semua materi tersebut saling berkaitan satu sama lain.
[1] Robert E. Slavin, Cooperative Learning
(Bandung: Nusa Media, 2005) hlm. 4
[2] Miftahul Huda, Cooperative Learning
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hlm. 29
[3] Miftahul Huda, Cooperative Learning
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hlm. 32
[4] Miftahul Huda, Cooperative Learning
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hlm. 46
[5] Miftahul Huda, Cooperative Learning
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) hlm. 79
[6] Robert E. Slavin, Cooperative Learning
(Bandung: Nusa Media, 2005) hlm. 10
[7] Robert E. Slavin, Cooperative Learning
(Bandung: Nusa Media, 2005) hlm. 12
0 komentar :
Posting Komentar