Senin, 20 April 2015

PERILAKU BAIK DAN BURUK



    A.   Pengertian Perilaku Baik dan Buruk
Dalam Islam perbuatan baik dan buruk itu sering disebutkan dengan ’amar ma’ruf nahi munkar (Perbuatan yang baik dan dan perbuatan yang buruk) yang dilakukan manusia dalam selurah kehidupannya. Manusia itu dikatakan berbuat baik apabila dia dapat melaksanakan ajaran agama secara’’ kaffah’’(keseluruhan) dan manusia dikatakan berbuat yang tidak baik apabila ia melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Pada dasarnya tugas dan tanggung jawab manusia adalah untuk mengabdi kepadaNya, dalam peroses pengabdiannya manusia harus mengetahui atau memiliki dasar yang hakiki untuk dijadikan landasan yang utama dalam hidupnya agar dalam menjalani kehidupan dunia ini lebih bermakna, adapun landasan yang dimaksudkan adalah sumber-sumber ajaran Islam yang mengatur semua aspek kehidupan manusia, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT, sesama manusia sesama alam atau lingkungannya.
Mengabdikan diri dalam Islam erat kaitannya dengan pendidikan akhlak, kemudian konsep mengabdikan diri dalam Al-Qur’an dikaitkan dengan taqwa dan taqwa itu sendiri berarti melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya, perintah Allah itu berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang baik sedangkan yang berkaitan larangan adalah dengan perbuatan-perbuatan yang tidak baik .
Dengan demikain akan menjadi jelas bahwa kebaikan dan keburukan dalam ajaran Islam merupakan dua bahasa yang berbeda akan tetapi memiliki keterkaitan antara keduanya, yaitu kalau tidak berbuat baik maka berbuat buruk, maka manusia tinggal memilih pada posisi mana ia harus berbuat karena kebaikan dan keburukan itu sudah jelas diatur dalam ajaran agama . Sebenarnya makna kebaikan dan keburukan itu sudah sangat jelas bagi setiap orang dan tidak perlu diberikan definisi, yang penting disini adalah penggolongan pengaplikasian kedua makna itu sehingga menjadi jelas hubungan pembahasan kebaikan dan keburukan perspektif akal dengan bagian yang mana dari penggunaan makna-makna tersebut.
Dengan menelusuri item-item penggunaan dua kata tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi tiga penggunaan asli dari makna keduanya: Pertama,Terkadang kebaikan dan keburukan bermakna kesempurnaan (kamâl) dan kekurangan (naqsh) yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam pengaplikasian ini, termasuk seluruh perbuatan manusia, apakah perbuatan itu berdasarkan ikhtiar manusia ataukah di luar ikhtiar manusia seperti sifat dasar manusia. Sebagai contoh dikatakan, ”Pengetahuan itu ialah suatu kebaikan” atau ‘’Belajar ilmu pengetahuan merupakan sebuah perbuatan baik,’’ dan juga dikatakan, “Kebodohan itu adalah suatu keburukan” atau “Meninggalkan pencarian ilmu merupakan suatu perbuatan buruk”; pengetahuan dan mencari ilmu pengetahuan merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia, sementera kebodohan dan meninggalkan pencarian ilmu merupakan kekurangan baginya.
Berdasarkan hal tersebut, maka sifat-sifat seperti berani dan dermawan merupakan bagian dari sifat-sifat baik, sementara sifat penakut dan kikir termasuk dari sifat-sifat jelek. Yakni, yang menjadi tolak ukur adalah kesempurnaan dan ketidak sempurnaan pada jiwa manusia. Kedua,Terkadang aplikasi makna kebaikan dan keburukan berdasarkan kemaslahatan dan ke-mafsadah-an (tak berfaedah) sebuah perbuatan atau sesuatu, dan terkadang maslahat dan mafsadah berhubungan dengan unsur individu atau berhubungan dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, setiap peserta yang menang dalam pertandingan adalah maslahat baginya (bagi peserta yang menang itu), akan tetapi kontradiksi dengan kemaslahatan para peserta lain yang kalah dalam pertandingan.
Sebaliknya, menyebarkan keadilan dalam masyarakat merupakan suatu perkara yang dapat dipandang sebagai maslahat bagi seluruh masyarakat. Ketiga, Aplikasi dari makna baik dan buruk adalah pada tinjauan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan perbuatan ikhtiar manusia. Aplikasi ini, perbuatan yang menurut akal manusia layak untuk dilakukan dan pelakunya mendapatkan pujian, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang baik. Sebaliknya, perbuatan yang semestinya ditinggalkan dan pelaku perbuatan tersebut menjadi tercela, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai perbuatan yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, “Keadilan itu adalah sebuah kebaikan” dan ‘’Kezaliman itu ialah sebuah keburukan”, yaitu akal memandang keadilan itu adalah layak dan baik serta pelakunya (orang adil) berhak mendapatkan pujian dan sanjungan, sementara kezaliman itu merupakan perbuatan yang tidak layak dan orang yang melakukannya seharusnya mendapatkan celaan.
Perlu diketahui bahwa akal yang dimaksud di sini adalah akal praktis, yang obyeknya adalah perbuatan ikhtiar manusia dari segi kelayakan (keharusan) untuk dilaksanakan atau kelayakan (keharusan) untuk ditinggalkan etika kita mencoba memikirkan pengaplikasian ketiga makna tersebut maka akan sangat jelas perbedaannya. Perbuatan-perbuatan pelaku selain manusia dan bahkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Dengan demikian perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia terdapat perbuatan-perbuatan jahat.

   B.   Ayat-ayat Tentang Perbuatan Baik dan Buruk
Adapun lafadz al-hasanah dan as-sayyiah dalam Al Qur’an memiliki berberapa makna, seperti yang di jelaskan dalam
Surat Ali-Imran :148
فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ ثَوَابِ الآخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Surat An-Naml :90
وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan barang siapa yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka. Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan”.
Surat An Nisaa’ 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”
C.  Berbakti Kepada Orangtua
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًاوَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa': 23-24)
Ayat diatas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah kepada Allah. Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda :
رِضَى اللهُ فِى رِضَى اْلوَالِدَيْنِ وَ سُخْطُ اللهِ فِى سُخْطِ اْلوَاِلدَيْنِ
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil diatas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun setelah wafatnya, sebagimana hadits Nabi :
عَنْ أَبِي أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِيِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا(رواه ابو داود)
Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami sedngan bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab : “Ya, dengan mendoakan keduanya, memohon ampun unyuknya, melaksanakan janjinya dan menyambung silaturrahmi dari sanak saudarnya serta memuliakan teman-temannya
   D  Berbuat Baik Kepada Kerabat
Berbuat baik kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :
”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
أَنَا اللَّهُ وَأَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)

  E.Berbuat Baik Kepada Anak Yatim dan Fakir Miskin
            Secara bahasa, yatim (اليتيم) berarti sendiri atau kehilangan. Dalam istilah syar’i,  yatim (اليتيم)  adalah anak yang ditinggalkan mati ayahnya sebelum ia mencapai umur balig. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan tentang batas usia yatim dalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “لَا يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ” yang artinya “tidak disebut yatim, anak yang telah bermimpi (baligh).” Sedangkan anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia masih kecil bukanlah termasuk dalam pengertian anak yatim. Sebab arti kata yatim (اليتيم) itu sendiri ialah kehilangan induk yang menanggung nafkah.
            Di dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan urusan anak yatim sebanyak 22 kali. Berkenaan dengan ayat-ayat tentang anak yatim tersebut, setidaknya ada 3 hal penting yang harus diperhatikan yaitu ihsan (berbuat baik) kepada anak yatim, hak-hak anak yatim, dan harta anak yatim.
1. Ihsan (berbuat baik) kepada anak-anak yatim.
Meskipun anak yatim kehilangan kasih sayang ayah yang membesarkannya, tetapi tidak kehilangan rahmat Allah. Syari’at-Nya yang mulia memberikan perhatian besar terhadap kasih sayang dan sikap baik kepada anak yatim.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka adalah saudaramu” (Al-Baqarah: 220)
2. Hak-hak anak yatim.
            Anak yatim harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana anak-anak lain yang mendapatkan hak-hak dari ayah mereka. Syari’at Islam mengharuskan agar anak yatim mendapatkan kasih sayang, kelembutan, dan pendidikan baik yang dapat membentuknya menjadi manusia shaleh dalam kehidupannya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman tentang kehidupan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjalani kehidupan sebagai anak yatim pada masa kanak-kanaknya
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى* وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى* وَوَجَدَكَ عَائِلاً فَأَغْنَى
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan.” (Adh-Dhuha: 6-8)
Firman-Nya dalam surat Adh-Dhuha ayat 6 sampai dengan ayat 8 tersebut menjelaskan tentang 3 hak anak yatim sebagaimana Allah telah memberikan hak-hak itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu; (1) hak untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan, (2) hak untuk untuk mendapatkan petunjuk atau pendidikan, dan (3) hak untuk mendapatkan kecukupan atau nafkah dan biaya untuk kehidupannya. Disamping hak-hak tersebut, pada ayat berikutnya Allah melarang adanya kesewenang-wenangan terhadap anak yatim. Bahkan dalam surat Al-Ma’un Allah menggolongkan orang-orang yang berlaku sewenang-wenang kepada anak yatim termasuk pendusta agama.
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.” (Ad-Dhuha: 9)
3. Harta anak yatim.
Hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan hak harta anak yatim adalah keadaan anak yatim itu ditinjau dari sisi ekonominya. Seringkali pandangan terhadap anak yatim hanya mengarah kepada kemiskinan dan kekurangan harta, sehingga anak yatim selalu dipandang sebagai anak yang sangat membutuhkan bantuan ekonomi. Padahal tidak semua anak yatim ditinggal mati ayahnya dalam keadaan miskin. Adakalanya seorang ayah meninggal dunia dengan meninggalkan harta waris dalam jumlah yang besar, sehingga anak yang ditinggalkan memiliki hak untuk mendapatkan harta tinggalan ayahnya. Oleh sebab itu firman Allah dalam Al-Qur’an tidak hanya berupa perintah untuk mengluarkan harta untuk kepentingan anak yatim, tetapi juga berisi perintah untuk mengamankan dan memelihara harta anak yatim.
Di antara perintah Allah untuk berinfaq untuk anak adalah firmanNya:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya…” (Al-Baqarah: 177)
            يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,” dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Al-Baqarah: 215)
Adapun terhadap anak-anak yatim yang memiliki harta waris dari ayah yang meninggalkannya, maka Allah mensyari’atkan 3 hal sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 6:
وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافاً وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيراً فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.” (An-Nisa’: 6)
Tiga hal yang disyari’atkan dalam ayat tersebut berkenaan dengan harta anak yatim adalah; (1) kewajiban menjaga dan tidak memakan harta anak secara dzalim, (2) diperbolahkan bagi orang miskin yang menjadi wali (pengasuh) anak yatim untuk ikut memakan harta anak yatim secara patut (tidak berlebihan), dan (3) menyerahkan harta kepada anak yatim (pemiliknya) jika dia telah dewasa dan mampu memanfaatkan hartanya. Sedang bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara dzalim, maka Allah memperingatkan dengan firman-Nya:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa’: 10)
Kemuliaan orang-orang yang mengasuh, mengasuh, dan memelihara anak yatim juga disebutkan dalam banyak hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di antara sabda-sabdanya, beliau menjamin orang-orang yang mengikuti sunnahnya dalam menyantuni anak yatim dengan surga:
عَنْ سَهْلٍ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Diriwayatkan dari Sahl, Rasulullah saw bersabda: ”Aku dan pemelihara anak yatim, di surga seperti ini.” Lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit. (HR. Al-Bukhari).
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pemelihara anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain (tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga.” Lalu Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Muslim).
مَنْ ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَ شَرَابِهِ حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Barang siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk surga.” (HR. Abu Ya’la dan Thobroni)

F   F.Durhaka Kepada Kedua Orangtua
Kewajiban anak terhadap orang -tua, yaitu berbuat baik, taat dan menghormat. Ini sesuai dengan panggilan fitrah yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya.Dan yang lebih hebat lagi ialah hak ibu, sebab dialah yang paling berat menanggung penderitaan waktu mengandung, melahirkan, menyusui, dan mengasuh.
Firman Allah Ta'ala:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Q.S Al-Ahqaaf 15).
Diriwayatkan:
"Ada seorang laki-laki datang kepada Nabi dan bertanya: Siapakah manusia yang lebih berhak saya kawani dengan baik? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ayahmu!" (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Nabi anggap durhaka kepada dua orang tua itu sebagai dosa besar, sesudah syirik. Begitulah sebagaimana ungkapan al-Quran.Oleh karena itu dalam hadisnya, Nabi Muhammad s.a.w. bersabda:
"Maukah kamu saya terangkan sebesar-besar dosa besar --tiga kali. Mereka menjawab: Mau, ya Rasulullah! Maka bersabdalah Nabi, yaitu: menyekutukan Allah, durhaka kepada dua orang tua --waktu itu dia berdiri sambil bersandar, kemudian duduk, dan berkata: Ingatlah! Omongan dusta dan saksi dusta." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
"Ada tiga orang yang tidak akan masuk sorga: 1) orang yang durhaka kepada dua orang tua; 2) laki-laki yang tidak ada perasaan cemburu terhadap keluarganya; 3) perempuan yang menyerupai laki-laki." (Riwayat Nasa'i, Bazzar dan Hakim)
"Semua dosa akan ditangguhkan Allah sampai nanti hari kiamat apa saja yang Dia kehendaki, kecuali durhaka kepada dua orang tua, maka sesungguhnya Allah akan menyegerakan kepada pelakunya dalam hidupnya (di dunia) sebelum meninggal." (Riwayat Hakim dan ia sahkan sanadnya)
Allah memperkuat pesannya untuk berbuat baik kepada dua orang tua ini, ketika kedua orang tua tersebut telah mencapai umur lanjut, kekuatannya sudah mulai menurun, mereka sudah mulai sangat membutuhkan pertolongan dan dijaganya perasaannya yang mudah tersinggung itu. Dalam hal ini Allah berfirman sebagai berikut:
"Tuhanmu telah memerintahkan hendaklah kamu tidak berbakti kecuali kepadaNya dan berbuat baik kepada dua orang tua, jika salah satu di antara mereka atau keduanya sudah sampai umur tua dan berada dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu katakan kepada mereka itu kata-kata 'uff' (kalimat yang tidak menyenangkan hati), dan jangan kamu bentak mereka, tetapi katakanlah kepada mereka berdua kata-kata yang mulia. Dan rendahkanlah terhadap mereka berdua sayap kerendahan karena kasih, dan doakanlah kepada Tuhanmu: Ya Tuhanku! Berilah rahmat mereka itu, sebagaimana mereka telah memeliharaku di waktu aku masih kecil." (al-Isra': 23-24)
Beberapa atsar (omongan para sahabat) menyebutkan dalam mengiringi ayat-ayat ini dengan mengatakan: andaikata ada kalimat yang oleh Allah dipandang lebih rendah daripada uff, niscaya Ia haramkan juga.
Membuat Gara-Gara yang Menyebabkan Dicacinya Dua Orang Tua, Termasuk Dosa Besar. Lebih dari itu, bahwa Rasululiah s.a.w. tidak menjadikan gara-gara dicacinya dua orang tua hanya sekedar haram, tetapi termasuk dosa besar.Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya di antara sebesar-besar dosa besar, ialah seseorang melaknat orang tuanya sendiri --kemudian para sahabat merasa heran, bagaimana mungkin seorang yang berakal dan beriman akan melaknat orang tuanya, padahal mereka adalah penyebab hidupnya. Kemudian mereka itu bertanya: bagaimana bisa jadi seseorang akan melaknat dua orang tuanya? Maka jawab Nabi: yaitu dia mencaci ayah orang lain kemudian orang tersebut mencaci ayahnya, dan ia mencaci ibu orang lain, kemudian orang tersebut mencaci ibunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)



        G. Menyakiti Tetangga Baik dalam Bentuk Perbuatan Maupun Perkataan
            Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu keras mengancam seseorang yang menyakiti dan mengganggu tetangganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya,
            “Tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
            Jika tetangga menyakiti kita usahakanlah agar kita dapat bersabar, sekaligus berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar Allah memberikan taufik kepada tetangga tersebut. Sehingga ia tidak menyakiti kita. Tengoklah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya,
            “Ada tiga golongan yang dicintai Allah. (Salah satunya adalah) seseorang yang memiliki tetangga yang senantiasa menyakitinya. Namun dia bersabar menghadapi gangguannya tersebut hingga kematian atau perpisahan memisahkan keduanya.” (HR. Ahmad dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’)
       H. Memakan Harta Anak Yatim
Allah telah berfirman sehubungan dengan perihal anak-anak yatim ini :
وآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرً
 “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar”. (Q.S. An Nisaa’: 2). 
Selain itu Allah-pun mengancam dengan siksaan yang keras kepada orang yang berani memakan harta anak yatim secara dzalim, untuk itu Allah berfirman :

إنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS. An Nisaa’ : 10). 
Rasulullah bersabda, memberikan perhatian kepada orang-orang yang berani memakan harta anak yatim :
 “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang merusak”. laluRasulullah SAW menyebut salah satu di antara ialah : “Memakan harta anak yatim”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.). 
Pahala menanggung penghidupan anak yatim : Ketika Islam melarang orang-orang memakan harta anak yatim dengan cara zalim, dari segi lain Islam meminta perhatian kepada orang-orang yang dibebani memelihara anak-anak yatim. 
Allah berfirman sehubungan dengan hal ini : 
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisaa’: 9). 
Ayat tadi menganjurkan kepada orang-orang yang memelihara anak-anak yatim agar takut kepada Allah dalam hal anak-anak yatim. Janganlah mereka berani memakan harta anak-anak yatim dengan cara batil. Peliharalah mereka dengan penuh kasih sayang sebagaimana mereka memelihara anak-anak mereka sendiri. Dan janganlah berbuat sembarangan terhadap harta anak-anak yatim yang diserahkan kepada mereka. Mereka harus menjaganya baik-baik, agar jangan sampai di kala ia mati, akan meninggalkan anak-anak dalam keadaan tak punya apa-apa. 
Bukanlah termasuk perbuatan yang zalim apabila seseorang wali anak yatim mengambil harta anak yatim yang ada dalam pemeliharaannya, dengan syarat ia membutuhkannya dan harta yang diambil itu sebagai ganti jerih payah dalam memelihara. Adapun jika keadaan wali itu serba cukup atau kaya, maka Islam menganjurkannya agar berbuat ‘Iffah (suci/ tidak mau mengambil harta anak yatim). Dan barang atau harta yang diambil oleh wali yang miskin harus dengan perkiraan menurut kebiasaan yang berlaku. 
Kemudian Rasulullah SAW memberi semangat kepada orang-orang yang memelihara anak yatim, bahwa mereka akan diberi pahala yang agung di sisi Allah. Untuk itu beliau bersabda :
 “Aku dan orang yang memelihara anak yatim dalam surga seperti ini”, setelah itu beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk serta jari tengahnya sambil merenggangkan kedua jari tersebut”.( Hadits riwayat Bukhari ) 
Beliau juga bersabda di lain kesempatan :
            “Rumah yang paling baik di kalangan kaum muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim dipelihara dengan baik-baik. Dan rumah yang paling jelek di kalangan muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim diperlakukan dengan jelek.( Hadits riwayat Ibnu Majah)”

      I. Hikmah Berbuat Baik dan Buruk
Setelah mengetahui bahwa tidak ada amal perbuatan yang kita lakukan terlepas dari tanggung jawab kita sebagai pelakunya besok di Akhirat, sekecil apapun akan dinampakkan balasannya demikian, sebaliknya sekecil apapun keburukan akan dirasakan hukumannya. Maka kita dapat mengambil hikmah sebagai berikut:
1.      Hikmah Balasan Amal Baik:
a.       Termotivasi untuk selalu berbuat baik sekecil apapun akan dinilai sebagai pahala di sisi Allah seperti menyingkirkan halangan atau duri di tengah jalan.
b.      Beramal secara terus-menerus (kontinyu) sebagai mana yang di cintai oleh Allah adalah amal meskipun kecil akan tetapi dilakukan secara kontinyu.
c.       Beramal dengan ikhlas sebab sahabat Ali pernah berkata: “Hendaknya yang kita khawatirkan bukan kecilnya amal akan tetapi amal tersebut kita lakukan dengan ikhlas atau tidak”.
d.      Selalu menjaga keimanan dengan banyak melakukan amal shaleh agar tidak menjadi orang yang merugi di Akhirat nanti.
e.       Menjadikan amal perbuatan yang baik seperti shalat, puasa, zakat, sedekah, haji dan lain-lain sebagai wasilah untuk selalu berharap pertolongan dan terkabulnya do’a di sisi Allah.


2.      Hikmah Balasan Amal Buruk:
a.       Selalu ingat sekecil apapun keburukan yang kita lakukan akan diberi hukuman (siksa) di sisi Allah.
b.      Selalu waspada akan bujuk rayu syaitan dan pengaruh dari teman-teman pergaulan yang selalu mengajak pada perbuatan yang merusak, yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain.
c.       Menyesali dan memohon ampunan Allah atas segala khilafdan dosa yang telah kita lakukan, baik karena kesadaran sendiri maupun pengaruh orang lain.
d.      Menyadari bahwa penyesalan selalu datang belakangan dan selalu tiada guna, maka kita berjanji kepada diri sendiri  untuk tidak jatuh kelubang yang sama untuk yang kedua kalinya.
e.       Meyakini bahwa semua amal buruk akan menjadi penghalang (Hijab) yang menutup datangnya hidayah dan terkabulnya do’a dari Allah SWT.


0 komentar :

Posting Komentar