A. Pengertian Perilaku Baik dan Buruk
Dalam Islam perbuatan baik dan buruk itu
sering disebutkan dengan ’amar ma’ruf nahi munkar (Perbuatan yang baik dan
dan perbuatan yang buruk) yang dilakukan manusia dalam selurah kehidupannya.
Manusia itu dikatakan berbuat baik apabila dia dapat melaksanakan ajaran agama
secara’’ kaffah’’(keseluruhan) dan manusia dikatakan berbuat yang tidak baik
apabila ia melakukan perbuatan yang menyimpang dari ketentuan yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT. Pada dasarnya tugas dan tanggung jawab manusia adalah untuk
mengabdi kepadaNya, dalam peroses pengabdiannya manusia harus mengetahui atau
memiliki dasar yang hakiki untuk dijadikan landasan yang utama dalam hidupnya
agar dalam menjalani kehidupan dunia ini lebih bermakna, adapun landasan yang
dimaksudkan adalah sumber-sumber ajaran Islam yang mengatur semua aspek
kehidupan manusia, yaitu hal-hal yang berhubungan dengan Allah SWT, sesama
manusia sesama alam atau lingkungannya.
Mengabdikan diri dalam Islam erat kaitannya
dengan pendidikan akhlak, kemudian konsep mengabdikan diri dalam Al-Qur’an
dikaitkan dengan taqwa dan taqwa itu sendiri berarti melaksanakan perintah
Allah dan menjauhi larangannya, perintah Allah itu berkaitan dengan
perbuatan-perbuatan yang baik sedangkan yang berkaitan larangan adalah dengan
perbuatan-perbuatan yang tidak baik .
Dengan demikain akan menjadi jelas bahwa
kebaikan dan keburukan dalam ajaran Islam merupakan dua bahasa yang berbeda
akan tetapi memiliki keterkaitan antara keduanya, yaitu kalau tidak berbuat
baik maka berbuat buruk, maka manusia tinggal memilih pada posisi mana ia harus
berbuat karena kebaikan dan keburukan itu sudah jelas diatur dalam ajaran agama
. Sebenarnya makna kebaikan dan keburukan itu sudah sangat jelas bagi setiap
orang dan tidak perlu diberikan definisi, yang penting disini adalah
penggolongan pengaplikasian kedua makna itu sehingga menjadi jelas hubungan
pembahasan kebaikan dan keburukan perspektif akal dengan bagian yang mana dari
penggunaan makna-makna tersebut.
Dengan menelusuri item-item penggunaan dua
kata tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi tiga penggunaan asli dari
makna keduanya: Pertama,Terkadang kebaikan dan keburukan bermakna kesempurnaan
(kamâl) dan kekurangan (naqsh) yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam
pengaplikasian ini, termasuk seluruh perbuatan manusia, apakah perbuatan itu
berdasarkan ikhtiar manusia ataukah di luar ikhtiar manusia seperti sifat dasar
manusia. Sebagai contoh dikatakan, ”Pengetahuan itu ialah suatu kebaikan” atau
‘’Belajar ilmu pengetahuan merupakan sebuah perbuatan baik,’’ dan juga
dikatakan, “Kebodohan itu adalah suatu keburukan” atau “Meninggalkan pencarian
ilmu merupakan suatu perbuatan buruk”; pengetahuan dan mencari ilmu pengetahuan
merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia, sementera kebodohan dan
meninggalkan pencarian ilmu merupakan kekurangan baginya.
Berdasarkan hal tersebut, maka sifat-sifat
seperti berani dan dermawan merupakan bagian dari sifat-sifat baik, sementara
sifat penakut dan kikir termasuk dari sifat-sifat jelek. Yakni, yang menjadi
tolak ukur adalah kesempurnaan dan ketidak sempurnaan pada jiwa
manusia. Kedua,Terkadang aplikasi makna kebaikan dan keburukan berdasarkan
kemaslahatan dan ke-mafsadah-an (tak berfaedah) sebuah perbuatan atau sesuatu,
dan terkadang maslahat dan mafsadah berhubungan dengan unsur individu atau
berhubungan dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, setiap peserta yang
menang dalam pertandingan adalah maslahat baginya (bagi peserta yang menang
itu), akan tetapi kontradiksi dengan kemaslahatan para peserta lain yang kalah
dalam pertandingan.
Sebaliknya, menyebarkan keadilan dalam
masyarakat merupakan suatu perkara yang dapat dipandang sebagai maslahat bagi
seluruh masyarakat. Ketiga, Aplikasi dari makna baik dan buruk adalah pada
tinjauan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan perbuatan ikhtiar manusia.
Aplikasi ini, perbuatan yang menurut akal manusia layak untuk dilakukan dan
pelakunya mendapatkan pujian, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
baik. Sebaliknya, perbuatan yang semestinya ditinggalkan dan pelaku perbuatan
tersebut menjadi tercela, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai
perbuatan yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, “Keadilan itu adalah sebuah
kebaikan” dan ‘’Kezaliman itu ialah sebuah keburukan”, yaitu akal memandang
keadilan itu adalah layak dan baik serta pelakunya (orang adil) berhak
mendapatkan pujian dan sanjungan, sementara kezaliman itu merupakan perbuatan
yang tidak layak dan orang yang melakukannya seharusnya mendapatkan celaan.
Perlu diketahui bahwa akal yang dimaksud di
sini adalah akal praktis, yang obyeknya adalah perbuatan ikhtiar manusia dari
segi kelayakan (keharusan) untuk dilaksanakan atau kelayakan (keharusan) untuk
ditinggalkan etika kita mencoba memikirkan pengaplikasian ketiga makna tersebut
maka akan sangat jelas perbedaannya. Perbuatan-perbuatan pelaku selain
manusia dan bahkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Dengan demikian perbuatan
manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena di antara perbuatan-perbuatan manusia
terdapat perbuatan-perbuatan jahat.
B. Ayat-ayat Tentang Perbuatan Baik dan Buruk
Adapun lafadz al-hasanah dan as-sayyiah
dalam Al Qur’an memiliki berberapa makna, seperti yang di jelaskan dalam
Surat Ali-Imran
:148
فَآتَاهُمُ اللَّهُ ثَوَابَ الدُّنْيَا وَحُسْنَ
ثَوَابِ الآخِرَةِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Karena itu Allah
memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan
Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.
Surat An-Naml :90
وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَكُبَّتْ وُجُوهُهُمْ
فِي النَّارِ هَلْ تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan barang siapa
yang membawa kejahatan, maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka.
Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu
kerjakan”.
Surat An Nisaa’ 36
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ
وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ
اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa,
karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan
tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri”
C.
Berbakti Kepada Orangtua
وَقَضَى
رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا
يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًاوَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu tidak menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah
seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua mendidik aku diwaktu kecil.” (al-Israa': 23-24)
Ayat diatas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah
sejajar dengan ibadah kepada Allah. Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari
Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. Bersabda :
رِضَى اللهُ
فِى رِضَى اْلوَالِدَيْنِ وَ سُخْطُ اللهِ فِى سُخْطِ اْلوَاِلدَيْنِ
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah
berada pada kemurkaan orang tua.”
Dalil diatas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan
diterima, jika tidak disertai dengan berbuat baik kepada kedua orang tua.
Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka bersamaan dengannya akan hilang
ketakwaan, keimanan, dan keislaman. Dan Akhlak kepada sesama manusia yang
paling utama kepada kedua orang tua, berakhlak kepada mereka adalah dengan
berbakti kepada keduanya, baik ketika hidup aupun setelah wafatnya, sebagimana
hadits Nabi :
عَنْ أَبِي
أُسَيْدٍ مَالِكِ بْنِ رَبِيعَةَ السَّاعِدِيِّ قَالَ بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ
بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ
شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلَاةُ عَلَيْهِمَا
وَالِاسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ
الرَّحِمِ الَّتِي لَا تُوصَلُ إِلَّا بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا(رواه ابو
داود)
Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idy berkata : “Tatkala kami sedngan
bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba datang seseorang dari Bani Salamah seraya
bertanya : “Ya Rasulallah apakah masih ada kesempatan untuk saya berbakti
kepada Ibu Bapak saya setekah keduanya wafat?” Nabi menjawab : “Ya, dengan
mendoakan keduanya, memohon ampun unyuknya, melaksanakan janjinya dan
menyambung silaturrahmi dari sanak saudarnya serta memuliakan teman-temannya
D
Berbuat Baik Kepada Kerabat
Berbuat baik kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang
baik dengan mereka, bahkan Allah SWT menyamakan seseorang yang memutuskan
hubungan silatuhrahmi dengan perusak dimuka bumi. Allah berfirman :
”Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan.?” (Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:
أَنَا
اللَّهُ وَأَنَا الرَّحْمَنُ خَلَقْتُ الرَّحِمَ وَشَقَقْتُ لَهَا مِنْ اسْمِي
فَمَنْ وَصَلَهَا وَصَلْتُهُ وَمَنْ قَطَعَهَا بَتَتُّهُ
“Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan Aku telah menciptakan rahim yang
Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang menyambungnya, akan Ku
sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan Ku putuskan hubunganku
dengannya.” (HR. Turmuzdi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang
memutuskan tali silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
E.Berbuat Baik Kepada Anak Yatim dan Fakir Miskin
Secara
bahasa, yatim
(اليتيم) berarti sendiri atau kehilangan. Dalam istilah syar’i, yatim (اليتيم) adalah anak yang
ditinggalkan mati ayahnya sebelum ia mencapai umur balig. Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan tentang batas usia yatim dalam
sabdanya yang diriwayatkan oleh Abu Daud: “لَا
يُتْمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ” yang artinya “tidak disebut yatim, anak yang telah bermimpi
(baligh).” Sedangkan anak yang ditinggal mati oleh ibunya ketika ia
masih kecil bukanlah termasuk dalam pengertian anak yatim. Sebab arti kata yatim
(اليتيم) itu sendiri ialah kehilangan induk yang menanggung nafkah.
Di
dalam Al-Qur’an, Allah menyebutkan urusan anak yatim sebanyak 22 kali.
Berkenaan dengan ayat-ayat tentang anak yatim tersebut, setidaknya ada 3 hal
penting yang harus diperhatikan yaitu ihsan (berbuat baik) kepada anak yatim,
hak-hak anak yatim, dan harta anak yatim.
1. Ihsan (berbuat baik) kepada
anak-anak yatim.
Meskipun
anak yatim kehilangan kasih sayang ayah yang membesarkannya, tetapi tidak
kehilangan rahmat Allah. Syari’at-Nya yang mulia memberikan perhatian besar
terhadap kasih sayang dan sikap baik kepada anak yatim.
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاَحٌ لَّهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ
فَإِخْوَانُكُمْ
“Dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakalah: “Mengurus urusan mereka
secara patut adalah baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, Maka mereka
adalah saudaramu” (Al-Baqarah: 220)
2. Hak-hak anak yatim.
Anak yatim harus mendapatkan hak-haknya sebagaimana
anak-anak lain yang mendapatkan hak-hak dari ayah mereka. Syari’at Islam
mengharuskan agar anak yatim mendapatkan kasih sayang, kelembutan, dan
pendidikan baik yang dapat membentuknya menjadi manusia shaleh dalam
kehidupannya. Berkenaan dengan hal tersebut, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman
tentang kehidupan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menjalani kehidupan
sebagai anak yatim pada masa kanak-kanaknya
أَلَمْ
يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى* وَوَجَدَكَ ضَالّاً فَهَدَى* وَوَجَدَكَ عَائِلاً
فَأَغْنَى
“Bukankah
Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu? Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu dia memberikan petunjuk. Dan Dia
mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu dia memberikan kecukupan.”
(Adh-Dhuha: 6-8)
Firman-Nya
dalam surat Adh-Dhuha ayat 6 sampai dengan ayat 8 tersebut menjelaskan tentang
3 hak anak yatim sebagaimana Allah telah memberikan hak-hak itu kepada
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu; (1) hak untuk mendapatkan perlindungan dan
keamanan, (2) hak untuk untuk mendapatkan petunjuk atau
pendidikan, dan (3) hak untuk mendapatkan kecukupan atau nafkah dan
biaya untuk kehidupannya. Disamping hak-hak tersebut, pada ayat
berikutnya Allah melarang adanya kesewenang-wenangan terhadap anak yatim.
Bahkan dalam surat Al-Ma’un Allah menggolongkan orang-orang yang berlaku
sewenang-wenang kepada anak yatim termasuk pendusta agama.
فَأَمَّا
الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ
“Sebab
itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang.”
(Ad-Dhuha: 9)
3. Harta anak yatim.
Hal yang
harus diperhatikan berkaitan dengan hak harta anak yatim adalah keadaan anak
yatim itu ditinjau dari sisi ekonominya. Seringkali pandangan terhadap anak
yatim hanya mengarah kepada kemiskinan dan kekurangan harta, sehingga anak
yatim selalu dipandang sebagai anak yang sangat membutuhkan bantuan ekonomi.
Padahal tidak semua anak yatim ditinggal mati ayahnya dalam keadaan miskin.
Adakalanya seorang ayah meninggal dunia dengan meninggalkan harta waris dalam
jumlah yang besar, sehingga anak yang ditinggalkan memiliki hak untuk
mendapatkan harta tinggalan ayahnya. Oleh sebab itu firman Allah dalam
Al-Qur’an tidak hanya berupa perintah untuk mengluarkan harta untuk kepentingan
anak yatim, tetapi juga berisi perintah untuk mengamankan dan memelihara harta
anak yatim.
Di antara perintah Allah untuk berinfaq untuk
anak adalah firmanNya:
لَيْسَ
الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ
الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ
وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ
“Bukanlah
menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi
sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya
kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang
memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya…” (Al-Baqarah: 177)
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ
مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
“Mereka
bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu
nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan,” dan apa saja
kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.” (Al-Baqarah:
215)
Adapun terhadap
anak-anak yatim yang memiliki harta waris dari ayah yang meninggalkannya, maka
Allah mensyari’atkan 3 hal sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa’ ayat 6:
وَابْتَلُواْ
الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْداً
فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلاَ تَأْكُلُوهَا إِسْرَافاً وَبِدَارًا
أَن يَكْبَرُواْ وَمَن كَانَ غَنِيّاً فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَن كَانَ فَقِيراً
فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
فَأَشْهِدُواْ عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللّهِ حَسِيباً
“Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang
patut.” (An-Nisa’: 6)
Tiga hal
yang disyari’atkan dalam ayat tersebut berkenaan dengan harta anak yatim
adalah; (1) kewajiban menjaga dan tidak memakan harta anak
secara dzalim, (2) diperbolahkan bagi orang miskin yang menjadi
wali (pengasuh) anak yatim untuk ikut memakan harta anak yatim secara patut
(tidak berlebihan), dan (3) menyerahkan harta kepada anak yatim
(pemiliknya) jika dia telah dewasa dan mampu memanfaatkan hartanya.
Sedang bagi mereka yang memakan harta anak yatim secara dzalim, maka Allah
memperingatkan dengan firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْماً إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمْ نَاراً وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيراً
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).” (An-Nisa’: 10)
Kemuliaan
orang-orang yang mengasuh, mengasuh, dan memelihara anak yatim juga disebutkan
dalam banyak hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di antara
sabda-sabdanya, beliau menjamin orang-orang yang mengikuti sunnahnya dalam
menyantuni anak yatim dengan surga:
عَنْ سَهْلٍ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا وَكَافِلُ
الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئًا
Diriwayatkan
dari Sahl, Rasulullah saw bersabda: ”Aku dan pemelihara anak yatim, di surga
seperti ini.” Lalu beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari
tengah dan merenggangkan di antara keduanya sedikit. (HR. Al-Bukhari).
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَافِلُ
الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ
وَأَشَارَ مَالِكٌ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pemelihara
anak yatim kepunyaannya (masih ada hubungan keluarga) atau kepunyaan orang lain
(tidak ada hubungan keluarga), dia dan aku seperti dua jari ini di surga.” Lalu
Malik mengisyaratkannya dengan jari telunjuk dan jari tengah. (HR. Muslim).
مَنْ
ضَمَّ يَتِيْمًا بَيْنَ أَبَوَيْنِ مُسْلِمَيْنِ فِيْ طَعَامِهِ وَ شَرَابِهِ
حَتَّى يَسْتَغْنِيَ عَنْهُ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Barang
siapa yang mengikutsertakan seorang anak yatim diantara dua orang tua yang
muslim, dalam makan dan minumnya, sehingga mencukupinya maka ia pasti masuk
surga.” (HR. Abu Ya’la dan Thobroni)
F F.Durhaka
Kepada Kedua Orangtua
Kewajiban anak terhadap orang -tua,
yaitu berbuat baik, taat dan menghormat. Ini sesuai dengan panggilan fitrah
yang harus dipenuhi dengan sebaik-baiknya.Dan yang lebih hebat lagi ialah hak
ibu, sebab dialah yang paling berat menanggung penderitaan waktu mengandung,
melahirkan, menyusui, dan mengasuh.
Firman Allah Ta'ala:
وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ
أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى
وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga
apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:
"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah
Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat
amal yang saleh yang Engkau ridai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi
kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri". (Q.S Al-Ahqaaf 15).
Diriwayatkan:
"Ada
seorang laki-laki datang kepada Nabi dan bertanya: Siapakah manusia yang lebih
berhak saya kawani dengan baik? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian
siapa? Ia menjawab: Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab:
Ibumu! Dia bertanya lagi: Kemudian siapa lagi? Ia menjawab: Ayahmu!" (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Nabi
anggap durhaka kepada dua orang tua itu sebagai dosa besar, sesudah syirik.
Begitulah sebagaimana ungkapan al-Quran.Oleh karena itu dalam hadisnya, Nabi
Muhammad s.a.w. bersabda:
"Maukah
kamu saya terangkan sebesar-besar dosa besar --tiga kali. Mereka menjawab: Mau,
ya Rasulullah! Maka bersabdalah Nabi, yaitu: menyekutukan Allah, durhaka kepada
dua orang tua --waktu itu dia berdiri sambil bersandar, kemudian duduk, dan
berkata: Ingatlah! Omongan dusta dan saksi dusta." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
"Ada
tiga orang yang tidak akan masuk sorga: 1) orang yang durhaka kepada dua orang
tua; 2) laki-laki yang tidak ada perasaan cemburu terhadap keluarganya; 3)
perempuan yang menyerupai laki-laki." (Riwayat Nasa'i, Bazzar dan
Hakim)
"Semua
dosa akan ditangguhkan Allah sampai nanti hari kiamat apa saja yang Dia
kehendaki, kecuali durhaka kepada dua orang tua, maka sesungguhnya Allah akan
menyegerakan kepada pelakunya dalam hidupnya (di dunia) sebelum
meninggal."
(Riwayat Hakim dan ia sahkan sanadnya)
Allah
memperkuat pesannya untuk berbuat baik kepada dua orang tua ini, ketika kedua
orang tua tersebut telah mencapai umur lanjut, kekuatannya sudah mulai menurun,
mereka sudah mulai sangat membutuhkan pertolongan dan dijaganya perasaannya
yang mudah tersinggung itu. Dalam hal ini Allah berfirman sebagai berikut:
"Tuhanmu
telah memerintahkan hendaklah kamu tidak berbakti kecuali kepadaNya dan berbuat
baik kepada dua orang tua, jika salah satu di antara mereka atau keduanya sudah
sampai umur tua dan berada dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu katakan
kepada mereka itu kata-kata 'uff' (kalimat yang tidak menyenangkan hati), dan
jangan kamu bentak mereka, tetapi katakanlah kepada mereka berdua kata-kata
yang mulia. Dan rendahkanlah terhadap mereka berdua sayap kerendahan karena
kasih, dan doakanlah kepada Tuhanmu: Ya Tuhanku! Berilah rahmat mereka itu,
sebagaimana mereka telah memeliharaku di waktu aku masih kecil." (al-Isra': 23-24)
Beberapa
atsar (omongan para sahabat) menyebutkan dalam mengiringi ayat-ayat ini dengan
mengatakan: andaikata ada kalimat yang oleh Allah dipandang lebih rendah
daripada uff, niscaya Ia haramkan juga.
Membuat
Gara-Gara yang Menyebabkan Dicacinya Dua Orang Tua, Termasuk Dosa Besar. Lebih
dari itu, bahwa Rasululiah s.a.w. tidak menjadikan gara-gara dicacinya dua
orang tua hanya sekedar haram, tetapi termasuk dosa besar.Rasulullah s.a.w.
bersabda:
"Sesungguhnya
di antara sebesar-besar dosa besar, ialah seseorang melaknat orang tuanya
sendiri --kemudian para sahabat merasa heran, bagaimana mungkin seorang yang
berakal dan beriman akan melaknat orang tuanya, padahal mereka adalah penyebab
hidupnya. Kemudian mereka itu bertanya: bagaimana bisa jadi seseorang akan
melaknat dua orang tuanya? Maka jawab Nabi: yaitu dia mencaci ayah orang lain
kemudian orang tersebut mencaci ayahnya, dan ia mencaci ibu orang lain,
kemudian orang tersebut mencaci ibunya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
G. Menyakiti Tetangga Baik dalam Bentuk Perbuatan
Maupun Perkataan
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam begitu keras mengancam seseorang yang menyakiti
dan mengganggu tetangganya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda
yang artinya,
“Tidak
akan masuk surga orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Jika
tetangga menyakiti kita usahakanlah agar kita dapat bersabar, sekaligus berdoa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, agar Allah memberikan taufik kepada tetangga
tersebut. Sehingga ia tidak menyakiti kita. Tengoklah sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya,
“Ada
tiga golongan yang dicintai Allah. (Salah satunya adalah) seseorang yang
memiliki tetangga yang senantiasa menyakitinya. Namun dia bersabar menghadapi
gangguannya tersebut hingga kematian atau perpisahan memisahkan keduanya.”
(HR. Ahmad dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Shahihul Jami’)
H. Memakan Harta Anak Yatim
Allah telah berfirman
sehubungan dengan perihal anak-anak yatim ini :
وآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ
بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ
حُوبًا كَبِيرً
“Dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu.
Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang
besar”. (Q.S. An Nisaa’: 2).
Selain itu Allah-pun
mengancam dengan siksaan yang keras kepada orang yang berani memakan harta anak
yatim secara dzalim, untuk itu Allah berfirman :
إنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا
يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka)”. (QS. An Nisaa’ : 10).
Rasulullah bersabda,
memberikan perhatian kepada orang-orang yang berani memakan harta anak yatim :
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang
merusak”. laluRasulullah SAW menyebut salah satu di antara ialah : “Memakan
harta anak yatim”( Hadits riwayat Bukhari dan Muslim.).
Pahala menanggung
penghidupan anak yatim : Ketika Islam melarang orang-orang memakan harta anak
yatim dengan cara zalim, dari segi lain Islam meminta perhatian kepada
orang-orang yang dibebani memelihara anak-anak yatim.
Allah berfirman
sehubungan dengan hal ini :
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ
تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا
اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا
“Dan hendaklah takut
kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka
anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.
Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An Nisaa’: 9).
Ayat tadi menganjurkan
kepada orang-orang yang memelihara anak-anak yatim agar takut kepada Allah
dalam hal anak-anak yatim. Janganlah mereka berani memakan harta anak-anak
yatim dengan cara batil. Peliharalah mereka dengan penuh kasih sayang
sebagaimana mereka memelihara anak-anak mereka sendiri. Dan janganlah berbuat
sembarangan terhadap harta anak-anak yatim yang diserahkan kepada mereka.
Mereka harus menjaganya baik-baik, agar jangan sampai di kala ia mati, akan
meninggalkan anak-anak dalam keadaan tak punya apa-apa.
Bukanlah termasuk
perbuatan yang zalim apabila seseorang wali anak yatim mengambil harta anak
yatim yang ada dalam pemeliharaannya, dengan syarat ia membutuhkannya dan harta
yang diambil itu sebagai ganti jerih payah dalam memelihara. Adapun jika
keadaan wali itu serba cukup atau kaya, maka Islam menganjurkannya agar berbuat
‘Iffah (suci/ tidak mau mengambil harta anak yatim). Dan barang atau harta yang
diambil oleh wali yang miskin harus dengan perkiraan menurut kebiasaan yang
berlaku.
Kemudian Rasulullah SAW
memberi semangat kepada orang-orang yang memelihara anak yatim, bahwa mereka
akan diberi pahala yang agung di sisi Allah. Untuk itu beliau
bersabda :
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim
dalam surga seperti ini”, setelah itu beliau memberi isyarat dengan jari
telunjuk serta jari tengahnya sambil merenggangkan kedua jari tersebut”.(
Hadits riwayat Bukhari )
Beliau juga bersabda di
lain kesempatan :
“Rumah
yang paling baik di kalangan kaum muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya
ada anak yatim dipelihara dengan baik-baik. Dan rumah yang paling jelek di
kalangan muslimin ialah suatu rumah yang di dalamnya ada anak yatim
diperlakukan dengan jelek.( Hadits riwayat Ibnu Majah)”
I. Hikmah Berbuat Baik dan Buruk
Setelah mengetahui bahwa tidak ada amal
perbuatan yang kita lakukan terlepas dari tanggung jawab kita sebagai pelakunya
besok di Akhirat, sekecil apapun akan dinampakkan balasannya demikian,
sebaliknya sekecil apapun keburukan akan dirasakan hukumannya. Maka kita dapat
mengambil hikmah sebagai berikut:
1. Hikmah Balasan Amal Baik:
a. Termotivasi untuk selalu berbuat baik sekecil apapun akan dinilai sebagai
pahala di sisi Allah seperti menyingkirkan halangan atau duri di tengah jalan.
b. Beramal secara terus-menerus (kontinyu) sebagai mana yang di cintai oleh
Allah adalah amal meskipun kecil akan tetapi dilakukan secara kontinyu.
c. Beramal dengan ikhlas sebab sahabat Ali pernah berkata: “Hendaknya yang
kita khawatirkan bukan kecilnya amal akan tetapi amal tersebut kita lakukan
dengan ikhlas atau tidak”.
d. Selalu menjaga keimanan dengan banyak melakukan amal shaleh agar tidak
menjadi orang yang merugi di Akhirat nanti.
e. Menjadikan amal perbuatan yang baik seperti shalat, puasa, zakat, sedekah,
haji dan lain-lain sebagai wasilah untuk selalu berharap pertolongan dan
terkabulnya do’a di sisi Allah.
2. Hikmah Balasan Amal Buruk:
a. Selalu ingat sekecil apapun keburukan yang kita lakukan akan diberi hukuman
(siksa) di sisi Allah.
b. Selalu waspada akan bujuk rayu syaitan dan pengaruh dari teman-teman
pergaulan yang selalu mengajak pada perbuatan yang merusak, yang dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain.
c. Menyesali dan memohon ampunan Allah atas segala khilafdan dosa yang telah
kita lakukan, baik karena kesadaran sendiri maupun pengaruh orang lain.
d. Menyadari bahwa penyesalan selalu datang belakangan dan selalu tiada guna,
maka kita berjanji kepada diri sendiri
untuk tidak jatuh kelubang yang sama untuk yang kedua kalinya.
e. Meyakini bahwa semua amal buruk akan menjadi penghalang (Hijab) yang
menutup datangnya hidayah dan terkabulnya do’a dari Allah SWT.
0 komentar :
Posting Komentar